Understanding Islam in Indonesia and Its Relations with Other Religions and other parts of the world.
An Indonesian scholar of Islam, Religions, and Southeast Asian Studies. Raised by a Muslim Bantenese-Betawi parent, Ali was educated in reading the Qur'an and performing Islamic ritual before being sent to traditional and modern Islamic schools in Jakarta and West Java. Ali attended the State Institute for Islamic Studies, specializing in the Tafsir and Hadith in the Department of Ushuluddin. Ali also obtained a Magister Manajement-Certificate d'Aptitude a l'Administration des Entreprises a double degree in international management from the University of Grenoble, Paris and the University of Indonesia, Jakarta. He then obtained an MSc in Islamic and Middle Eastern Studies at Edinburgh University, Scotland. He went to the University of Hawai`i at Manoa, in the U.S. to pursue a PhD in History in Southeast Asia, the Middle East, World, and Europe. After completion, he became an assistant professor and currently a director of Middle East and Islamic Studies and an associate professor in Religious Studies at the University of California, Riverside. Dr. Ali is a public scholar, speaker, and an author of books and articles on Islam, particularly Islam in Southeast Asia, with a focus on Islam and religions in Indonesia.
Membaca Al-Qur’an dan berbagai tafsirnya, juga karya-karya sarjana dan aktifis tentang ilmu pengetahuan di kalangan umat Islam, saya merenung mengapa umat Islam – yang saat ini berjumlah 1,8 milyar, nomor dua setelah umat Kristen (2,4 milyar), masih saja terbelakang dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), dan apa jalan keluarnya. Bukti-bukti keterbelakangan ini, misalnya universitas-universitas umum dan keagamaan belum menempati posisi mewarnai riset dan teknologi dunia. Peraih Hadiah Nobel dari 1901-2000, penganut Kristen (65.4 %), Yahudi (21 %, padahal jumlahnya 30 jutaan), ateis, agnostik, free-thinker (10.4 %), Buddha (1.1), Muslim (0.8 %, sekitar 5 orang), dan Hindu (0.7%). Dalam bidang-bidang ilmu kedokteran, kimia, ekonomi, fisika, dan perdamaian.
Sebabnya tidak satu, tapi multi-dimensional dan kompleks. Mengapa Yahudi yang minoritas bisa luar biasa ipteknya? Ada banyak penjelasan. Antara lain: karena mereka merantau dan sering menjadi warga kelas dua di Eropa, dan tidak masuk ke dalam kekuasaan politik, mereka jadi semangat fokus di bidang perdagangan, riset, dan pendidikan. Menariknya, orang Yahudi penerima Hadiah Nobel adalah diaspora di Amerika, bukan Yahudi di Negara Israel (yang meskipun sangat serius membangun industry teknologi tinggi, masih lebih sibuk mengurus politik, perang, dan lain-lain).
Lalu mengapa umat Kristen sekitar 65.4 % peraih Nobel? Juga banyak teori. Antara lain: bangsa-bangsa Kristen dan Katolik capek perang di abad pertengahan, lalu masuk ke pencerahan, urusan negara dan Gereka terpisah, sekulerisme politik, sehingga mereka serius mengurus Iptek, meskipun tetap relijius. Mereka yang menguasai agama tetap berjalan, tapi tidak perlu banyak. Kampus-kampus yang awalnya kampus agama seperti Harvard, Stanford, Cambridge, Oxford, mengubah menjadi universitas yang bergerak di semua bidang keilmuan dan teknologi, dengan tetap mempertahankan dan mengembangkan jurusan-jurusan agama. Jurusan-jurusan agama ini selalu kecil mahasiswanya dan itu bukan masalah. Bagaimana dengan kaum ateis, agnosik, dan free-thinker (yang jumlahnya berkembang, nomor tiga terbesar di dunia saat ini). Jelas, mereka fokus pada riset dan teknologi, dan tidak peduli urusan agama, meskipun banyak dari mereka menguasai ilmu agama.
Umat Islam bukan tidak punya universitas, bahkan ada sebagian yang tertentu di dunia. Sebagiannya juga berasal dari masjid, madrasah, lalu menjadi jami’ah, dan menggabungkan ilmu agama dan ilmu umum. Namun, ada beberapa hal mengapa belum optimal. Pertama, meskipun dikotomi “ilmu umum dan ilmu agama” tidak dikenal dalam teks Al-Qur’an (bahkan kata “ulama” dalam Al-Quran yang konteksnya alam semesta, menjadi sempit artinya “ahli agama”), dan meskipun banyak sekali teks anjuran untuk meneliti diri, alam, dan masyarakat, kenyataannya birokrasi yang dikotomis masih sangat kuat: kementerian agama dan wakaf di negeri-negeri mayoritas Muslim, justru yang mengurus universitas yang bergerak di segala bidang keilmuan. Dukungan dana untuk riset dan pendidikan, meskipun cenderung bertambah, masih sangat terbatas dengan birokrasi yang bukan memudahkan. Diaspora umat Islam juga masih terbatas jumlah dan pengaruhnya. Integrasi ilmu masih sebatas nostalgia abad pertengahan.
Kedua, banyak kalangan umat Islam masih diliputi masalah-masalah konflik-konflik internal seperti teologi dan ideologi keagamaan (sejak abad ke-7 sampai ke-21, konfliknya masih Sunni vs Syiah, Qadariyyah dan Jabariyyah), konflik-konflik yang menyita energi pikiran, tenaga, dan sumber daya yang lebih parah lagi mempengaruhi cara berpikir mayoritas umat yang tidak menguasai agama tapi menjadi pengikut fanatik otoritas-otoritas agama yang berselisih itu. Akibatnya, mayoritas anak muda yang seharusnya fokus menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi terbawa debat dan konflik agama yang mereka sendiri tidak menguasai seluk beluknya. Dalam konteks umat Kristen, debat agama umumnya kalangan tertentu yang belajar dan menguasai agama mereka, sedangkan mayoritas umat Kristen fokus mengurus urusan-urusan iptek dan lain sebagainya.
Ketiga, terkait faktor diatas, seperti terasa sekali dalam respons umat Islam dibandingkan dengan umat-umat agama lain terhadap Wabah Covid-19 ini. Meskipun ada respons ilmiah di beberapa kalangan dokter dan praktisi, respons ritual lah yang dominan dalam menghadapi wabah penyakit ini. Masih sangat kurang respons ilmiah dan teknologinya, seperti riset tentang wabah, riset vaksin, riset komunikasi dan teknologi pendidikan alternatif, riset manajemen krisis, kebijakan publik, dampak terhadap lingkungan hidup, jalan keluar ekonomi, dan sebagainya.
Dengan diagnosa krisis dan sebab-sebab diatas, perlu diusahakan jalan keluar, dengan melibatkan semua pihak. Perlu ada semacam ijtihad jama’i, pemikiran dan kerjasama. Orang yang menguasai agama tidak perlu banyak, seperti dalam diisyaratkan Al-Qur’an Al-Taubah:122. Dan tafaqquh fil din dalam ayat ini bukan terbatas fuqaha, tapi berbagai cabang ilmu diniyyah yang sangat kaya dan dalam warisannya dan harus terus diperbaharui. Ilmu agama itu ilmu, bukan agama. Ada bagian agama yang pasti tetap dan universal, tapi banyak aspek agama yang bisa berubah – dan memang telah berubah- tergantung apakah perubahan itu kearah kemajuan dan kemaslahatan atau kemunduran dan kerusakan. Di luar mereka yang memiliki alat tafaqquh fid din ini, umat Islam kebanyakan, anak-anak mudanya, wajib fokus menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi. Mereka tidak perlu harus mencari dalil-dalil tekstual: udah banyak dan jelas. Dan mereka tidak perlu mencocok-cocokan penemuan ilmiah dengan ayat atau hadis. Sudah banyak yang melakukan, dan cenderung mengulang-ngulang saja.
Yang wajib dikembangkan adalah, membiasakan RASA INGIN TAHU sejak masa anak-anak di rumah, di sekolah, di kampus, di jalan, di media sosial. Mulai dengan iklim kebebasan BERTANYA MENGAPA? Mengapa sesuatu fenomena alam dan masyarakat terjadi? Mengapa terjadi krisis? Mengapa orang sakit dan yang lain sehat? Mengapa dan mengapa? Lalu menggali BAGAIMANA? Bagaimana problem-solving-nya? Pendekatan ilmu yang mana yang bisa menjawab pertanyaan mengapa itu? Teknologi yang seperti apa yang bisa mempermudah roda kehidupan manusia dan masyarakat? Kedokteran dan farmasi. Ilmu Astronomi juga harus dikembangkan, bukan sekedar ilmu falaq untuk menentukan awal Ramadan saja. Fisika juga. Kimia. Matematika sebagai dasar ilmu komputasi dan alat mempermudah berbagai teknologi. Filsafat dan sastra. Ilmu ekonomi sangatlah penting. Resolusi konflik dan perdamaian (sebetulnya saya berharap ada tokoh Muslim yang dapat hadiah Nobel bidang perdamaian karena umat Islam punya pengalaman konflik luar biasa sepanjang sejarah, tapi yah masih belum). Dan berbagai ilmu dan disiplin yang semakin terspesialisasi saat ini. Mereka yang berlatarbelakang ilmu-ilmu yang dianggap “umum” dan “sekuler” itu, jangan minder. Jangan pesimis. Jangan putus asa.
Ini dulu renungan saya. Bagaimana menurut Anda?