Skip to content

Author: Muhamad Ali

An Indonesian scholar of Islam, Religions, and Southeast Asian Studies. Raised by a Muslim Bantenese-Betawi parent, Ali was educated in reading the Qur'an and performing Islamic ritual before being sent to traditional and modern Islamic schools in Jakarta and West Java. Ali attended the State Institute for Islamic Studies, specializing in the Tafsir and Hadith in the Department of Ushuluddin. Ali also obtained a Magister Manajement-Certificate d'Aptitude a l'Administration des Entreprises a double degree in international management from the University of Grenoble, Paris and the University of Indonesia, Jakarta. He then obtained an MSc in Islamic and Middle Eastern Studies at Edinburgh University, Scotland. He went to the University of Hawai`i at Manoa, in the U.S. to pursue a PhD in History in Southeast Asia, the Middle East, World, and Europe. After completion, he became an assistant professor and currently a director of Middle East and Islamic Studies and an associate professor in Religious Studies at the University of California, Riverside. Dr. Ali is a public scholar, speaker, and an author of books and articles on Islam, particularly Islam in Southeast Asia, with a focus on Islam and religions in Indonesia.

Teori Klasik Agama (Bagian 2): Animisme dan Magis menurut E.B. Tylor dan James Frazer

Jika Anda sedang meneliti atau ingin tahu soal-soal terkair magis dan animisme, Anda perlu baca Tylor dan Frazer. E.B. Tylor (w.1917), lahir di keluarga agamis Quaker di London,tapi kemudian keluar dari tradisi agamanya dan beralih kepada “sains ttg masyarakat”, menjelajah Meksiko dan Amerika tengah, meneliti penduduk asli Amerika, dan membaca tentang banyak suku asli termasuk Dayak. Muncullah karya berjilid-jilid “Primitive Culture”, tentang mitologi, filsafat, agama, bahasa, seni, dan adat. Ia kemudian dianggap perintis antropologi, meskipun kajian-kajian budaya sudah ada sejak lama. Menurut Tylor, ada kesatuan pola pikir/psikis di semua masyarakat, dari yang primitif sampai moderen. Perbedaanya cara mereka menggunakan pola pikir itu, dan umat manusia berkembang secara bertahap dari era savage,kejam, lalu barbarik, buas, lalu saintifik. Di masyarakat era primitif, manusia percaya adanya spirit, ruh yang menggerakkan hewan, tanaman, dan segala sesuatu, seperti hanya tubuh manusia. Inilah animisme, yang menurut Tylor, asal mula agama-agama yang muncul kemudian, yang politeistik, lalu monoteistik. Animisme, menjadi dasar filsafat agama-agama, dari yang paling awal sampai yang mutakhir. Tylor memperkuat teorinya dengan membandingkan konsep-konsep Ibrani nephesh, ruach, neshamah, Arab nafs, ruh, Sansekerta atman, prana, Yunani psyche,pneuma, Latin animus, anima, spiritus, dan semua diterjemahkan ke Inggris sbg spirit, ghost. Keyakinan adanya ruh ini, misalnya, ketika seseorang bermimpi, ruhnya meninggalkan jasad, berkeliling, sehingga banyak masyarakat percaya ruh bergentayangan di malam hari. Kepercayaan terhadap ruh-ruh, dan kemudian tuhan-tuhan, termasuk hantu, setan, jin, malaikat, dan semacamnya, menunjukan adanya kesamaan dan kelanjutan kepercayaan akan kekuatan di luar yang nyata. 

James Frazer (w.1941), juga berkebangsaan Inggris, tapi lahir dari keluarga Presbyterian, dan murid Tylor, dan menseriusi antropologi, tapi meneliti budaya Yunani dan Romawi tua. Karyanya berjilid the Golden Bough (Batang Pohon Keemasan, 1890) menjadi karya klasik Magis dan Agama. Tylor dan Frazer percaya pikiran membentuk masyarakat, dan pikiran itu mengalami perkembangan (evolusionisme). Bagi Tylor, animisme kepercayaan paling tua, tapi bagi Frazer, magis lebih tua. Dalam masyarakat primitif, ada dua prinsip magis: peniruan dan kontak. Misalnya, seorang magis meniru suara guntur agar turun hujan. Seorang menusuk boneka yang mirip orang lain untuk maksud membahayakan orang itu. Magis ada yang teoritis (psedo-saintik), ada yang praktis (psedo-seni, yg terbagi lagi jadi magis positif atau dukun dan magis negatif atau tabu. Tapi kemudian, ketika magis itu, ternyata tidak terbukti, mereka beralih kepada agama. Agama, juga percaya ada kekuatan ruh atau tuhan yang mengatur alam, tapi agama tidak mengikuti dua prinsip magis di atas, dan karena itu, lebih tinggi tingkatannya dari magis. Tingkatan selanjutnya, bagi Frazer, adalah sains. Awalnya magis, lalu agama, lalu sains, meskipun yang terakhir ini terbaik, sejarah pemikiran manusia belum selesai. Sebagai ilustrasi, Frazer membuat ibarat jaring laba-laba pemikiran (web of thought) yang terdiri dari tiga benang yang berbeda: benang2 hitam magis, benang2 merah agama, dan benang2 putih sains, dan dalam sains, kita memasukkan kebenaran-kebenaran sederhana, yang diambil dari pengamatan alam, dimana semua manusia di segala zaman memilikinya. Warna benang yang mana yang paling dominan, ada di zaman yang berbeda-beda. 

Tylor dan Frazer memperkenalkan dan mengembangkan kajian ilmiah tentang manusia, yang menjadi etnologi dan antropologi. Dengan mengumpulkan data dari banyak suku di bagian2 dunia yang berbeda, mereka menemukan teori umum tentang manusia. Misalnya, bangsa Ibrani mengikuti Sepuluh Perjanjian dan Musa, lalu ada kemudian banyak manusia pengikut Yesus, dan seterusnya, adalah bagian dari perkembangan dari masa sebelumnya, yang animistik atau yang magis, bukanlah karena hidayah atau wahyu Tuhan. Manusia beragama karena faktor-faktor alami. Tylor dan Frazer juga dipengaruhi teori Evolusi bahwa manusia berkembang dari yang paling sederhana ke yang lebih kompleks. Manusia belajar dari kesalahan-kesalahan masa lalu dan terus memperbaiki diri. Mereka merintis teori intelektualis tentang agama. Artinya, agama adalah soal pikiran, gagasan, keyakinan yang terbentuk untuk memahami lingkungan alam sekitar. 

Kritik-kritik terhadap Tylor dan Frazer antara lain menyangkut metode antropologi yang mereka gunakan. Mereka kurang memperhatikan konteks sosial dan sejarah, lebih banyak data oral, dan terlalu jauh mengambil kesimpulan umum. Mereka dipengaruhi evolusionisme ketika menjelaskan animisme dan magis sebagai bentuk paling awal, lalu politeisme, lalu monoteisme, padahal animisme, dan politeisme pun masih ada di zaman sains moderen. Kritik lainnya, apakah benar faktor pikiran paling penting dalam munculnya agama-agama? Bukankah ada faktor ritual, sosial, politik, dan lain-lain, yang juga bisa saja menjadi faktor kemunculan agama-agama. 

Meskipun dikritik, Tylor dan Frazer menjadi perintis ilmu pengetahuan mengenai animisme dan magis. Siapapun ilmuwan yang membahas dua konsep ini, baik di masa lampau, maupun di zaman kontemporer, mereka harus lebih dulu membaca keduanya.

Teori-teori klasik Kajian Agama (Bagian 1)

Ada banyak teori dan metode dalam memahami dan menjelaskan agama, umumnya, dibagi menjadi teori klasik dan kontemporer. Teori agama artinya penjelasan umum tentang gagasan, fenomena, kenyataan, dan pengalaman tertentu yang dikategorikan sebagai agama. Zaman pencerahan di Eropa, kemudian di Amerika, adalah reaksi atas institusionalisi agama, dan justru melahirkan kajian-kajian rasional, ilmiah, tentang fenomena yang umumnya dianggap sebagai non-rasional, tidak ilmiah, atau suprarasional. Muncullah naturalisme: bahwa segala sesuatu itu bersifat alami saja. Tidak ada diatas dan selain yang alami. Akal menjadi patokan tentang eksistensi Tuhan, jiwa, dan keabadian alam. Di sisi lain, meskipun konteksnya Kristen dan Yahudi, mulai ada perhatian pada agama-agama lain, baik Islam maupun di timur: asia, afrika, dan lainnya. Selain bergumul di perpustakaan, sebagian mereka melakukan rihlah ilmiah, mengunjungi masyarakat-masyarakat yang menjadi perhatian mereka.

Kajian agama sebagai sains, science of religion (religionswissenschaft), benihnya sudah lama ada, tapi lebih sistematik pertama dilakukan pakar bahasa Sansekerta yang menerjemahkan Kitab Weda, asal Jerman Friedrich Max Muller (w. 1900). Ia tertarik meneliti asal mula agama, pola-pola perkembangan agama. Menurutnya, agama adalah wilayah mental untuk menguasai hal yang tak terbatas melalui alam, yang terpisah dari panca indera dan akal. Dia berpendapat, “He who knows one religion, knows none” (Orang yang tahu hanya satu agama, tidak tahu agama). Karenanya, ia mengenalkan perbandingan agama. 

Teori dan agama pun menjadi berhubungan. Ada yang berupaya mendefinisikan apa itu agama: kandungannya, gagasannya, tapi ada jg yang mendefinisikan fungsi agama dalam kehidupan pribadi dan komunitas. Bukti-bukti mereka pun berbeda-beda. Hubungan keyakinan pribadi mereka dan obyek kajian juga beragam. Penjelasan apa itu agama juga bermacam-macam. Pendekatan pun bermunculan: bahasa, antropologi, sejarah, fenomendologi, psikologi, filsafat, teologi, lalu belakangan sosiologi, dan pendekatan-pendekatan baru pun berkembang. Sains agama dan ilmu-ilmu humaniora dan sosial saling meminjam dan menunjang. Studi kritis terhadap agama makin berkembang. Kesarjanaan kritikal terhadap Kitab Perjanjian pun berkembang. Sebagian besar ilmuwan ini menerima teori evolusi Darwin, meskipun dengan penekanan dan pendekatan yang berbeda. Ada juga yang mengeritik Darwinisme.

Agama pun menjadi obyek mandiri yang dikaji. Tujuannya macam-macam, meskipun pada umumnya: memahami (verstehen, understanding), bukan sekedar menjelaskan, tapi mencari hakikat agama, keragaman dan kesamaan, mencari jalan masuk kepada hal yang non-rasional, suci, misterius, spiritual, mistikal, dan lain-lain sifat dan karakteristiknya. 

Dalam tulisan-tulisan berikut saya akan coba perkenalkan satu persatu teoris-teoris klasik ini, secara ringkas saja, dimulai Edward Tylor dan James Frazer lalu Sigmund Freud, Emile Durkheim, Karl Marx, William James, Max Weber, Rudolf Otto, Mircea Eliade, Clifford Geertz. Teori-teori kontemporer umumnya mengkritisi teori-teori klasik ini, laki2 semuanya, dan menawarkan teori-teori baru menjelaskan agama, yang semakin kompleks.