Ada banyak teori dan metode dalam memahami dan menjelaskan agama, umumnya, dibagi menjadi teori klasik dan kontemporer. Teori agama artinya penjelasan umum tentang gagasan, fenomena, kenyataan, dan pengalaman tertentu yang dikategorikan sebagai agama. Zaman pencerahan di Eropa, kemudian di Amerika, adalah reaksi atas institusionalisi agama, dan justru melahirkan kajian-kajian rasional, ilmiah, tentang fenomena yang umumnya dianggap sebagai non-rasional, tidak ilmiah, atau suprarasional. Muncullah naturalisme: bahwa segala sesuatu itu bersifat alami saja. Tidak ada diatas dan selain yang alami. Akal menjadi patokan tentang eksistensi Tuhan, jiwa, dan keabadian alam. Di sisi lain, meskipun konteksnya Kristen dan Yahudi, mulai ada perhatian pada agama-agama lain, baik Islam maupun di timur: asia, afrika, dan lainnya. Selain bergumul di perpustakaan, sebagian mereka melakukan rihlah ilmiah, mengunjungi masyarakat-masyarakat yang menjadi perhatian mereka.
Kajian agama sebagai sains, science of religion (religionswissenschaft), benihnya sudah lama ada, tapi lebih sistematik pertama dilakukan pakar bahasa Sansekerta yang menerjemahkan Kitab Weda, asal Jerman Friedrich Max Muller (w. 1900). Ia tertarik meneliti asal mula agama, pola-pola perkembangan agama. Menurutnya, agama adalah wilayah mental untuk menguasai hal yang tak terbatas melalui alam, yang terpisah dari panca indera dan akal. Dia berpendapat, “He who knows one religion, knows none” (Orang yang tahu hanya satu agama, tidak tahu agama). Karenanya, ia mengenalkan perbandingan agama.
Teori dan agama pun menjadi berhubungan. Ada yang berupaya mendefinisikan apa itu agama: kandungannya, gagasannya, tapi ada jg yang mendefinisikan fungsi agama dalam kehidupan pribadi dan komunitas. Bukti-bukti mereka pun berbeda-beda. Hubungan keyakinan pribadi mereka dan obyek kajian juga beragam. Penjelasan apa itu agama juga bermacam-macam. Pendekatan pun bermunculan: bahasa, antropologi, sejarah, fenomendologi, psikologi, filsafat, teologi, lalu belakangan sosiologi, dan pendekatan-pendekatan baru pun berkembang. Sains agama dan ilmu-ilmu humaniora dan sosial saling meminjam dan menunjang. Studi kritis terhadap agama makin berkembang. Kesarjanaan kritikal terhadap Kitab Perjanjian pun berkembang. Sebagian besar ilmuwan ini menerima teori evolusi Darwin, meskipun dengan penekanan dan pendekatan yang berbeda. Ada juga yang mengeritik Darwinisme.
Agama pun menjadi obyek mandiri yang dikaji. Tujuannya macam-macam, meskipun pada umumnya: memahami (verstehen, understanding), bukan sekedar menjelaskan, tapi mencari hakikat agama, keragaman dan kesamaan, mencari jalan masuk kepada hal yang non-rasional, suci, misterius, spiritual, mistikal, dan lain-lain sifat dan karakteristiknya.
Dalam tulisan-tulisan berikut saya akan coba perkenalkan satu persatu teoris-teoris klasik ini, secara ringkas saja, dimulai Edward Tylor dan James Frazer lalu Sigmund Freud, Emile Durkheim, Karl Marx, William James, Max Weber, Rudolf Otto, Mircea Eliade, Clifford Geertz. Teori-teori kontemporer umumnya mengkritisi teori-teori klasik ini, laki2 semuanya, dan menawarkan teori-teori baru menjelaskan agama, yang semakin kompleks.