Muhamad Ali
Memasuki sekitar satu bulan, gejolak rasial dan jam malam di banyak kota di Amerika Serikat (AS) telah menurun, namun percakapan dan perjuangan mereformasi kebijakan terus berlangsung. Kematian pria kulit hitam George Flyod setelah ditangkap dan ditekan lehernya dengan dengkul polisi kulit putih, memantik api kemarahan begitu banyak warga di AS. Keluarga Floyd menuntut keadilan bagi pelaku penyiksaan itu (polisi Derek Chauvin dan ketiga polisi yang terlibat). Bagi mereka dan kita, tidak ada damai tanpa keadilan.
Masalah warna kulit paling akut dan sistemik di AS. Rasisme, rasa dan tindakan negatif dan permusuhan terhadap kelompok lain – khususnya oleh kaum kulit putih terhadap kaum kulit hitam, telah ada sejak AS berdiri, ketika para budak kulit hitam menjadi bagian para pendatang ke Dunia Baru benua Amerika. Ketika superioritas kulit putih, berasal dari Eropa, terbawa dan melembaga di Amerika.
Meskipun di abad ke-21, rasisme sering digunakan untuk setiap bentuk permusuhan terhadap kelompok lain untuk alasan apapun, termasuk jenis kelamin dan jender, usia, budaya, dan agama, warna kulit tetap menjadi unsur identitas paling menonjol.
Bahkan banyak orang masih yakin, perbedaan warna kulit bersifat alami, tetap, dan tidak bisa dijembatani. Orang kulit hitam direndahkan, tidak suci, liar, primitif, tidak beradab, bukan sepenuhnya manusia.
Sains pun dipakai untuk membenarkan dogma keunggulan ras. Determinisme biologis, dan Darwinisme rasial oleh kaum Eugenik dari Inggris dan kemudian berpengaruh di Amerika, berkeyakinan ras putih atau Kaukasian lebih mulia daripada kaum kulit hitam dari Afrika, dan kulit-kulit berwarna lainnya termasuk orang asli dan Asia.
Rasisme moderen mengambil berbagai bentuk praktek, kelembagaan, dan struktur sosial ekonomi yang melanggengkan perbedaan warna kulit itu, termasuk produk hukum yang melanggengkan perbudakan orang kulit hitam. Bahkan hingga 1863, orang kulit hitam yang sudah merdeka pun tidak bisa menjadi warga negara. Baru setelah Amandemen ke-14 Undang-Undang tahun 1868, kewarganegaraan mencakup setiap orang yang lahir di Amerika.
Namun sejak 1830an, perundang-undangan yang dikenal “Jim Crow laws” menjadi produk hukum rasis yang paling lama, membatasi kaum kulit hitam untuk nikah antar ras, berinteraksi di ruang publik dan memilih pemimpin.
Menjadi Anti-Rasis
Pada saat bersamaan, Amerika juga mengalami gerakan anti-penjajahan, gerakan penghapusan perbudakan, gerakan hak-hak sipil pada tahun 1950an dan 1960an, dengan tokoh-tokoh utama seperti Martin Luther King Jr dan juga Malcom-X. Di masa kontemporer, figur-figur kulit hitam di berbagai bidang publik pun bermunculan. Ada Oprah Winfrey, Keith Ellison, Barack Obama, dan Ilhan Omar, untuk menyebut beberapa nama.
Obama misalnya, menyerukan kaum kulit hitam terlibat dalam politik, memilih politisi yang menyuarakan keadilan. Ia suarakan reformasi hukum kriminal, aparatur kepolisian, dan semua produk hukum yang tidak menjamin keadilan. Tindakan penyiksaan aparat harus dihapuskan dan jika terjadi, harus mendapat hukuman setimpal. Banyak tokoh dan aktifis mencari dukungan reformasi pemilihan melalui kantor pos atau online, tanpa harus datang ke kotak suara karena sangat menyulitkan banyak orang terpinggarkan untuk memilih.
Mereka menyuarakan reformasi hukum, mengganti aturan yang menyulitkan kaum kulit hitam dan kaum miskin lainnya, untuk memiliki tempat tinggal, untuk meminjam dana, untuk mendapatkan pendidikan, kesehatan, pekerjaan, dan pelayanan publik lainnya.
Berita baiknya. Keith Ellison menjadi senator Muslim pertama, sekarang menjadi Jaksa Penuntut Umum pengadilan kasus Floyd ini. Keluarga, dan masyarakat luas sangat menunggu apakah tuntutan keadilan terpenuhi. Proses pengadilan dimulai.
Tapi gerakan “Black Lives Matter”, Nyawa Orang Hitam Bernilai, terus bergema. Brutalitas aparat kepolisian menjadi sasaran utama. Aktifis mengingatkan lagi pidato Martin Luther King Jr. Warga negara harus menilai orang berdasarkan muatan karakternya bukan berdasarkan warna kulit.
Ada hampir 45 juta atau 14 persen orang kulit hitam di Amerika saat ini. Kebanyakan masih dalam kondisi marjinal. Perjuangan anti-rasisme masih panjang.
Di kampus-kampus dan media, solidaritas kemanusiaan juga disuarakan. Banyak mahasiswa kulit hitam di kampus-kampus, mengalami trauma luar biasa, seraya menuntut keadilan dan solidaritas semua orang. Memang ada pelatihan tentang kemajemukan dan inklusi di kampus-kampus AS. Ada aturan-aturan anti-diskriminasi. Tapi itu belum cukup.
Hampir semua orang berkata, “saya tidak rasis”, tapi nyatanya mereka bisa saja rasis. Atau tidak rasis hari ini, tapi rasis hari besok hari. Menjadi tidak rasis, belumlah cukup. Berpura-pura. Atau seolah-olah tidak ikut berdosa. Sekarang momentumnya. Menjadi anti-rasis.
Seseorang bisa mendukung kebijakan rasis melalui tindakannya, atau tidak berbuat sama sekali. Menjadi anti-rasis berarti mendukung setiap kebijakan anti-rasis melalui tindakan. Juga tidak berhenti menyuarakan pikiran anti-rasis.
Setiap manusia adalah sejajar dan mulia. Mereka, juga kita semua, tidak boleh berhenti berjuang menyuarakan keadilan. Damai dan adil jangan dipisahkan. Menjadi manusia sepenuhnya, dan menilai orang lain sebagai manusia, juga sepenuhnya.