Kasus kriminal pembunuhan guru sekolah menengah Samuel Paty oleh seorang anak muda imigran asal Chehnya-Rusia Abdoullakh Anzorov di dekat kota Paris, 16 Oktober lalu, memperkuat Presiden Macron untuk melawan apa yang ia sebut “separatisme” di negerinya. Oleh banyak kalangan, Macron tidak membedakan kriminalisme dan Islam. Apa yang dianggap sebagai Islamofob dalam pidato dan kebijakannya memicu reaksi Erdogan dan beberapa pemimpin Muslim dan seruan boikot produk Perancis. Debat pun muncul kembali, di Perancis, dan di mana-mana tentang Republik dan Islam. Akan tetapi, ada beberapa hal yang tertutup dalam reaksi Macron (juga berbagai kalangan) dan reaksi Erdogan dan sebagian Muslim itu.
1) Ada Muslim dari Afrika dan tempat-tempat lain yang berperan dalam revolusi Perancis. Misalnya, bagi Muhammad D’Ghies, menjadi Muslim dan revolusioner itu tidak bertentangan. Keadilan, persaudaraan, dan kemanusiaan, adalah ajaran Islam. Ia mendukung revolusi ketika itu. Banyak Muslim imigran – sekitar 5 jutaan – dari berbagai negara menikmati hidup dalam laicite Perancis. Perancis adalah negeri yang paling banyak umat Islamnya seantero Eropa.
2) Sebetulnya Macron tidak selalu anti-Islam. Ia bukan Islamofob garis keras. Ia sering bilang dirinya “bukan kanan bukan kiri. ” Ia sering membela hak Muslim termasuk hak pemakaian hijab ketika banyak kalangan kanan di Perancis mengidentikan hijab dan Islam dengan terorisme, dan menyamakan komunalisme dengan terorisme. Tentu saja sikap dan kebijakan dia juga kontekstual.
3) Laicite Perancis itu agak berbeda dengan sekulerisme Amerika. Banyak pengamat politik AS kurang paham perbedaan ini sehingga menyamakan begitu saja dengan sekulerisme AS. Laicite Perancis lebih tegas karena revolusi mereka melawan kemapaman Gereja Katolik berabad-abad. Karena itu, mereka ingin menghilangkan simbol-simbol keagamaan Katolik, Yahudi dan Muslim, termasuk niqab di sekolah dan tempat publik. Kesetaraan mereka berbentuk pelarangan identitas primordial keagamaan. Begitu pula pemaknaan kebebasan berpendapat di Perancis dan di AS agak berbeda. Di Perancis, moto liberte, egalite, fraternite itu dipahami sakral, menggantikan kesakralan gereja pada abad-abad sebelumnya. Kebebasan di Perancis termasuk kebebasan untuk membuat karikatur, mengolok-olok Yesus, Muhammad, atau siapa saja, dalam batas konstitusi Perancis. Kebebasan Perancis juga berarti orang bisa menjadi sangat ortodoks, konservatif secara individual dan komunal, asal tidak membahayakan ruang publik.
4) Perancis adalah kekuatan kolonial berabad-abad dan kebijakan asimilasi terhadap warga bekas jajahan mereka yang gagal di dalam Republik Perancis sendiri. Tindakan kriminal sebagian kecil terutama teror sejak tahun 2011, 2015, 2020, dari sekitar 5 jutaan warga Muslim itu adalah bagian dari masalah pembinaan kewarganegaraan (citoyennete) Perancis yang belum tuntas.
5) Di sisi lain, kriminalisme dan teror yang terjadi beberapa kali di beberapa tempat di Perancis juga menunjukkan masalah di dalam tubuh sebagian Muslim sendiri, termasuk anak mudanya, untuk dapat hidup dalam konteks laicite Republik Perancis. Ektremisme dengan kekerasan, antara lain kurangnya pemahaman ajaran dasar Islam dan Quran. Tidak ada ajaran Al-Quran untuk membunuh orang yang menghina Nabi atau Al-Qur’an. Apalagi di Perancis, tidak ada hukuman untuk itu. Tindakan memenggal kepala guru dengan alasan blasphemy, itu jelas bertentangan dengan hukum Perancis.
6) Di Perancis, banyak sekali organisasi imam Muslim dan upaya dialog antaragama. Conseil Francais du culte musulman (CFCM) misalnya mengecam radikalisme, kekerasan, dan pembunuhan guru itu. Ada solidaritas umat beragama termasuk Muslim terhadap aksi pemenggalan guru itu. Sejauh ini banyak tokoh dan organisasi Muslim di sana yang memajukan keagamaan, kebudayaan, olah raga, dan ekonomi Perancis. Tapi masih banyak pendatang Muslim yang menderita, belum maju ekonomi sosial mereka, rendah pendidikan mereka. Di sisi lain, ada banyak muslim yang mendukung moto nasional Perancis Liberte, Egalite, Fraternite. Sebagian mereka membangun “French Islam”. Islam Perancis, semacam Islam nusantara atau Islam Indonesia.
7) Di kalangan sarjana Perancis, setidaknya ada dua teori yang mencoba menjelaskan fenomena radikalisme. Gilles Kepel berpendapat ada faktor ideologi Islam, sedang Olivier Roy menyebut faktor psikologi individual Muslim yang marjinal, bukan mainstream ajaran Islamnya. Dalam pidatonya, Macron sejalan dengan teori Kepel itu: “Islam adalah agama yang mengalami krisis zaman sekarang. Islam harus dibebaskan dari pengaruh-pengaruh asing”, dan merencanakan mengurangi imam-imam yang terdidik dari luar Perancis, mengurangi homeschooling, dan mengawasi sumber pendanaan agama. Selain program-program pelayanan pendidikan, kultural dan olah raga yang lebih kuat. Semacam program deradikalisasi.
8) Meskipun unik sejarahnya, Perancis tetap perlu belajar dari negara-negara yang tidak represif terhadap kaum-kaum yang marjinal dan kalangan yang berpotensi atau terbukti radikal dan kriminal. Karena ideologi terbukti sulit termoderatkan melalui pidato dan kebijakan represi. Pendekatan ekonomi, pendidikan, kebudayaan, dan kewarganegaraan harus lebih komprehensif, dengan mengakui kontribusi berbagai elemen bagi lahirnya revolusi, Pencerahan, dan moto kebebasan, persamaan dan persaudaraan itu. Pemerintah dan berbagai elemen masyarakat di Perancis sama-sama harus introspeksi sejauh mana mereka bisa menghadapi masalah bagaimana bisa hidup berdampingan damai, adil, dan produktif.
Tulisan yang bagus. Mencerahkan.
Coba, secara tata tulis, lain kali kurangi pengunaan partikel -nya jika memang tidak benar2 diperlukan. Alih-alih menggunakan “Prancis unik sejarahnya…” lebih baik “Prancis memiliki sejarah unik…”
Mercie.
Terima kasih.